Sudah Siap Menjanda? Begini Syarat dan Aturannya!

 

Menurut Pasal 1 UU No. 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan ("UU Perkawinan"), perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Perceraian pada prinsipnya dihindari, tetapi tetap dimungkinkan dengan syarat-syarat tertentu.

 

Adapun alasan sahnya Perceraian menurut Pasal 39 UU Perkawinan dan Pasal 19 PP No. 9 Tahun 1975 dapat dijelaskan sebagai berikut:

 

Dalam Pasal 39 ayat (2) UU Perkawinan, perceraian hanya dapat terjadi dengan putusan Pengadilan, setelah Pengadilan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. Lebih detil, Pasal 19 PP No. 9 Tahun 1975 merinci alasan sah perceraian, yaitu:

 

  1. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, atau lain-lain yang sukar disembuhkan.
  2. Salah satu pihak meninggalkan pihak lainnya selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin dan alasan yang sah.
  3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau lebih sesudah perkawinan berlangsung.
  4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lainnya.
  5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang mengakibatkan tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau istri.
  6. Antara suami dan istri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan untuk rukun kembali.

 

Lebih lanjut, Mahkamah Agung Republik Indonesia dalam keputusan rapat pleno kamar agama tanggal 19 November 2023, yang kemudian diumumkan melalui Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2023 mengatur syarat lain perceraian sebagai berikut:

 

Perkara perceraian dengan alasan perselisihan dan pertengkaran terus menerus dapat dikabulkan jika terbukti suami istri terjadi perselisihan dan pertengkaran terus menerus dan tidak ada harapan akan hidup rukun
lagi dalam rumah tangga diikuti dengan telah berpisah tempat tinggal paling singkat 6 (enam) bulan kecuali ditemukan fakta hukum adanya Tergugat/Penggugat melakukan KDRT
.”

 

Prosedur Perceraian

UU Perkawinan menegaskan bahwa perceraian hanya sah jika diputuskan oleh Pengadilan. Prosesnya diatur dalam PP No. 9 Tahun 1975, khususnya Pasal 14 hingga Pasal 36.

Beberapa ketentuannya antara lain:

 

  1. Perceraian bagi pasangan yang beragama Islam dilakukan di Pengadilan Agama; sedangkan bagi non-Muslim di Pengadilan Negeri.
  2. Gugatan/Permohonan cerai harus diajukan oleh pihak yang ingin bercerai dengan alasan yang sah seperti diuraikan di atas.
  3. Pengadilan wajib mendamaikan para pihak terlebih dahulu melalui proses mediasi sebelum memeriksa pokok perkara.
  4. Jika mediasi gagal, persidangan dilanjutkan hingga diputuskan perceraian.

 

Dalam proses persidangan, berdasarkan ketentuan Pasal 22 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 keluarga dapat dijadikan saksi sepanjang tidak ada bukti lain.

 

Konsekuensi Hukum Status Anak

Berdasarkan Pasal 47 dan Pasal 5O UU Perkawinan, dengan adanya perceraian tidak menjadikan kekuasaan orang tua berakhir dan tidak memunculkan Perwalian. Dalam hal ini Hakim harus menunjuk salah satu dari kedua orang tua sebagai pihak yang memelihara dan mendidik anak
tersebut (Pasal 41 UUP).

 

Kesimpulan

Dengan demikian, perceraian di Indonesia tidak dapat dilakukan secara sepihak atau di luar Pengadilan. Pasangan suami istri yang ingin bercerai harus memenuhi alasan yang diatur dalam UU Perkawinan dan PP No. 9 Tahun 1975 serta menempuh prosedur hukum yang berlaku.

Aturan ini bertujuan untuk menjaga keutuhan rumah tangga dan memberikan kesempatan kepada suami dan istri untuk berdamai demi kepentingan bersama, terutama anak-anak.

 

Referensi:

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974

SEMA No. 3 Tahun 2023

Bahashukum.com by Armanda Pransiska S.H

Semua tulisan di bahashukum.com semata-mata ditujukan sebagai bahan edukasi, bukan pemberian konsultasi hukum.

Untuk berdiskusi lebih lanjut, silakan hubungi advokat kami melalui email armanda.pransiska@bahashukum.com.