Akses terhadap informasi mengenai nasabah penyimpan dan juga simpanannya merupakan suatu hal yang penting dalam penyidikan perkara pidana. Akses ini berguna bagi penegak hukum untuk mengetahui kemana pelaku kejahatan menyembunyikan uang hasil kejahatannya. Akan tetapi, menjaga kerahasiaan informasi tentang nasabah dan simpanannya juga merupakan suatu hal yang penting untuk dilakukan bank demi menjaga kepercayaan nasabah. Oleh karena itu, negara melalui Undang-undang perbankan Nomor 7 Tahun 1992 yang sudah diubah dengan Undang-undang Nomor 4 Tahun 2023 Tentang Pengembangan dan Penguatan Sistem Keuangan (“UU Perbankan”), mencoba mengambil jalan tengah antara menjaga kerahasiaan dan memberikan akses kepada penegak hukum khususnya penyidik untuk membuka rahasia itu. Dalam perjalanannya, UU Perbankan memberikan kewenangan yang berbeda kepada penyidik Otoritas Jasa Keuangan (“OJK”) dalam menyidik kejahatan di sektor jasa keuangan dan penyidik POLRI, penyidik dan penuntut Kejaksaan dan juga hakim dalam menangani kejahatan di sektor lain yang melibatkan rekening bank. Bagaimana ketentuannya, begini penjelasannya.
Menjaga Rahasia Bank Adalah Kewajiban Dengan Pengecualian
Pasal 40 UU Perbankan bilang kalau bank dan pihak terafiliasinya wajib merahasiakan informasi mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya. Tentunya kewajiban ini dibarengi dengan sanksi jika tidak dipatuhi. Pasal 1 butir 28 UU Perbankan mendefinisikan Rahasia Bank adalah informasi yang berhubungan dengan keterangan mengenai Nasabah Penyimpan dan Simpanan dari Nasabah Penyimpan. Hanya saja tidak ada penjelasan lebih lanjut yang merinci apa saja yang termasuk kedalam informasi mengenai nasabah penyimpan dan apa saja yang termasuk informasi mengenai simpanan nasabah penyimpan. POJK Nomor 44 Tahun 2024 Tentang Rahasia Bank sebagai turunan UU Perbankan juga tak memberikan rincian dimaksud. Namun untuk memudahkan pembaca dalam memahami kerangka pikir UU Perbankan, tulisan ini akan merujuk pada identitas seperti nama, alamat, tempat tanggal lahir, nama ibu kandung, pekerjaan dan informasi lain terkait pribadi nasabah yang dia berikan pada saat menggunakan jasa perbankan. Sedangakan keterangan mengenai simpanan nasabah penyimpan adalah keterangan seperti misalnya mutasi dan posisi saldo.
Kewajiban untuk menjaga rahasia bank ini menjadi tidak berlaku jika terjadi kondisi-kondisi tertentu kata Pasal 40A ayat (1) huruf b UU Perbankan. Salah satu kondisi itu adalah untuk kepentingan peradilan dalam perkara pidana. Namun pengecualian ini tetap diatur dengan syarat-syarat yang ketat. Di Pasal 42 ayat (1) UU Perbankan dijelaskan bahwa, untuk kepentingan peradilan dalam perkara pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40A ayat (1) huruf b, Otoritas Jasa Keuangan berwenang memberikan izin kepada polisi, jaksa, hakim, atau penyidik lain yang diberi wewenang berdasarkan Undang-Undang untuk memperoleh informasi dari Bank mengenai Simpanan tersangka, terdakwa, terpidana, atau pihak lain yang terkait dengan tersangka, terdakwa, atau terpidana.
Dari Pasal 42 ayat (1) UU Perbankan itu, bisa disimpulkan bahwa polisi, jaksa, hakim, atau penyidik lain (PPNS), harus mendapat izin dari OJK terlebih dahulu agar bisa mendapatkan informasi mengenai simpanan nasabah. Dan nasabah yang bisa dibuka informasinya juga terbatas mereka yang sudah berstatus tersangka, terdakwa, terpidana atau pihak lain yang terkait dengan tersangka, terdakwa, atau terpidana. Sampai di titik ini, jelas bahwa minimal harus ada tersangka dulu baru OJK berwenang memberikan izin untuk membuka rahasia bank.
Lebih lanjut, pejabat Polri, Kejaksaan dan Pengadilan yang dapat memohon kepada OJK untuk diberikan izin membuka rahasia bank juga hanya level tertentu saja, yakni seperti yang disebutkan oleh Pasal 42 ayat (2) UU Perbankan, sebagai berikut:
a. Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kepala Badan Reserse Kriminal Kepolisian Negara Republik Indonesia, atau kepala kepolisian daerah dalam hal permintaan diajukan oleh penyidik dari Kepolisian Negara Republik Indonesia;
b. Jaksa Agung, Jaksa Agung Muda, atau kepala kejaksaan tinggi dalam hal permintaan diajukan oleh jaksa penyidik dan/atau penuntut umum;
c. Ketua Mahkamah Agung, ketua pengadilan tinggi, atau ketua pengadilan negeri; atau
d. pimpinan instansi yang diberi wewenang untuk melakukan penyidikan atau jabatan satu tingkat di bawah pimpinan instansi yang diberi wewenang untuk melakukan penyidikan.
TPPU Beda Cerita
Prosedur pembukaan rahasia bank di atas, berlaku untuk penanganan perkara pidana selain tindak pidana pencucian uang (TPPU). Akan tetapi, Pasal 72 ayat (1) UU TPPU, untuk kepentingan pemeriksaan dalam perkara tindak pidana Pencucian Uang, maka penyidik, penuntut umum, atau hakim berwenang meminta Pihak Pelapor (dalam hal ini bank) untuk memberikan keterangan secara tertulis mengenai Harta Kekayaan dari:
a. orang yang telah dilaporkan oleh PPATK kepada penyidik;
b. tersangka; atau
c. terdakwa.
Dalam hal ini, Pasal 72 ayat (2) UU TPPU mengatur bahwa untuk pemeriksaan perkara TPPU bagi penyidik, penuntut umum, atau hakim tidak berlaku ketentuan rahasia bank dan kerahasiaan Transaksi Keuangan lain.
Kewenangan Penyidik OJK Untuk Membuka Rahasia Bank Dalam Pemyidikan Tindak Pidana di Sektor Jasa Keuangan
Di dalam bab yang mengubah Undang-undang nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, UU P2SK kembali menegaskan kewenangan OJK untuk menyidik tindak pidana di sektor jasa keuangan. Meskipun awalnya penyidikan tindak pidana di sektor jasa keuangan hanya dapat dilakukan oleh penyidik OJK, setelah terbitnya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 59/PUU-XX/2023, tanggal 21 Desember 2023, penyidik Polri juga berwenang.
Pada Pasal 49 ayat (7) huruf k, diatur bahwa salah satu kewenangan penyidik OJK dalam melakukan penyidikan tindak pidana di sektor jasa keuangan adalah meminta “keterangan dari LJK tentang keadaan keuangan” pihak yang diduga melakukan atau terlibat dalam pelanggaran terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan. Meskipun menggunakan terminology yang berbeda dengan rahasia bank pada UU Perbankan, terminology “keadaan keuangan” di UU OJK ini merujuk pada materi yang sama, yakni isi rekening orang.
Sampai titik ini, terllihat perbedaan kewenangan penyidik OJK untuk mengintip rekening seseorang dibandingkan dengan kewenangan penyidik polri, jaksa atau bahkan hakim menurut Pasal 42 ayat (2) UU Perbankan. Pada rezim UU Perbankan, rahasia bank yang dapat dibuka terbatas pada nasabah yang sudah menjadi tersangka, terdakwa, terpidana, atau pihak lain yang terkait dengan tersangka, terdakwa, atau terpidana. Dalam kerangka KUHAP, jika aturannya begini, maka untuk dapat membuka rahasia bank, penyidik setidak-tidaknya harus sudah dalam tahap penyidikan dan mendapatkan siapa tersangkanya.
Sedangkan kewenangan penyidik OJK untuk pemeriksaan perkara pidana di sektor jasa keuangan, tidak harus ada status tersangka terlebih dahulu, melainkan cukup “diduga melakukan atau terlibat dalam pelanggaran” terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan. Dengan kata lain, meminjam kerangka piker KUHAP tidak harus dalam tahap penyidikan.
Bahashukum.com by Armanda Pransiska S.H
Semua tulisan di bahashukum.com semata-mata ditujukan sebagai bahan edukasi, bukan pemberian konsultasi hukum.
Untuk berdiskusi lebih lanjut, silakan hubungi advokat kami melalui email armanda.pransiska@bahashukum.com.
© 2025 bahashukum.com