Banyak konten beredar di sosial media, yang bilang bahwa debitur yang sudah menunggak lebih dari 180 hari atau kolektabilitas 5 atau macet, tidak boleh terus dikenakan bunga. Pernyataan ini mengambil dasar hukum dari Putusan Mahkamah Agung Nomor 2899 K/Pdt/1994, tanggal 15 februari 1996, yang merupakan putusan tingkat kasasi dari perkara di Pengadilan Tinggi Surabaya Nomor 1006/Pdt/1993/PT.Sby tanggal 16 februari 1994 dan Pengadilan Negeri Surabaya Nomor 398/Pdt.G/1992/PN.Psr, tanggal 24 Desember 1992.
Tapi bagaimana sebenarnya kasus dan hukumnya?
Putusan MA No. 2899 K/Pdt/1994 ini sering digunakan sebagai dalil oleh pihak debitur untuk menuntut penghapusan bunga kepada krediturnya saat mereka sudah tidak lagi membayar utang atau macet. Bahkan yurisprudensi ini selalu jadi senjata pamungkas debitur atau kuasanya di pengadilan untuk menangkis perhitungan bunga yang ditagih oleh pihak bank.
Perkara ini diajukan oleh Bambang Sudjianto terhadap krediturnya yakni PT Bank Umum Nasional Pusat cq. PT Bank Umum Nasional Cabang Surabaya. Debitur berutang kepada Kreditur sebesar Rp. 150.000.000 dan memberikan jaminan berupa 1 unit mobil Mazda Capella tahun 1989 dan 3 bidang tanah milik penggugat yang terletak di kelurahan Ledug, Kecamatan Prigen, Kabupaten Pasuruan.
Di dalam perjanjian Pembaharuan Utang antara penggugat dan tergugat, nomor 238 tanggal 24 Oktober 1991 yang dibuat di hadapan Notaris Alfian Yahya SH, disepakati hal-hal sebagai berikut:
Singkat cerita, perkara sampai ke tingkat kasasi di MA (putusan No. 2899 K/Pdt/1994). Pada pertimbangannya, MA bilang begini:
“bahwa terlepas mengenai keberatan-keberatan kasasi pada ad.2, 3, 4, 5 dan 6 yang diajukan oleh pemohon kasasi/penggugat asal, Mahkamah Agung berpendapat bahwa Pengadilan Tinggi Surabaya telah salah dalam menerapkan hukum, dengan pertimbangan sebagai berikut.
bahwa jatuh tempo perjanjian kredit antara pemohon kasasi/penggugat asal dengan termohon kasasi/tergugat asal adalah pada tanggal 24 Oktober 1991, sedang kreditnya sendiri adalah sebesar Rp 150.000.000,- (seratus lima puluh juta rupiah) dengan bunga sebesar 21% setahun.
bahwa sebelum jatuh tempo, yakni pada tanggal 20 Juli 1991 telah diputuskan sepihak oleh termohon kasasi/tergugat asal tentang perjanjian kredit tersebut (bukti P-6) dengan menyatakan kredit macet pemohon kasasi/penggugat asal kepada termohon kasasi/tergugat asal sebesar Rp 170.794.687,- (seratus tujuh puluh juta tujuh ratus sembilan puluh empat ribu enam ratus delapan puluh tujuh rupiah) dan langsung mengajukan eksekusi melalui Pengadilan Negeri Kabupaten Pasuruan di Bangil (bukti P-7), sedangkan pemohon kasasi/penggugat asal telah melunasi kreditnya sebesar Rp 100.000.000,- (seratus juta rupiah) dan bunga-bunganya sebesar Rp 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah), yang Rp 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) ini tidak disangkal oleh termohon kasasi/tergugat asal. Dengan demikian sudah terbayar sebesar Rp 150.000.000,- (seratus lima puluh juta rupiah).
bahwa menurut pendapat Mahkamah Agung, apabila telah terjadi pemutusan perjanjian sepihak oleh termohon kasasi/tergugat asal (Kreditur) dengan menyatakan adanya kredit macet yang jumlahnya telah ditentukan sebesar Rp 170.794.687,- (seratus tujuh puluh juta tujuh ratus sembilan puluh empat ribu enam ratus delapan puluh tujuh rupiah) sebagaimana surat dari termohon kasasi/tergugat asal tertanggal 20 Juli 1991, maka pada saat itu segala sesuatunya harus dalam keadaan status quo terhadap perhitungan jumlah kredit macet tersebut dan tidak dapat dibenarkan lagi adanya pertambahan atas bunga-bunganya.
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut diatas, maka terdapat cukup alasan bagi Mahkamah Agung untuk mengabulkan permohonan kasasi yang diajukan oleh pemohon kasasi : Bambang Sudjianto, yang dalam hal ini diwakili oleh kuasanya : Wijono Subagyo, SH. dan kawan tersebut, dan untuk membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Surabaya tersebut, sehingga Mahkamah Agung akan mengadili sendiri perkara ini dengan menguatkan putusan Pengadilan Negeri Surabaya yang dianggapnya telah tepat dan benar yang pertimbangannya diambil alih oleh Mahkamah Agung sebagai pertimbangannya sendiri dan seluruh amarnya berbunyi seperti yang akan disebutkan dibawah ini”.
Dari pertimbangan MA dalam putusan No. 2899 K/Pdt/1994 di atas, jelas MA tidak sekonyong-konyong menjatuhkan hukum “Kredit yang macet, harus berhenti perhitungan bunganya alias status quo”. Norma ini lahir dari fakta bahwa:
Dengan demikian, maka norma dari MA ini semestinya dibaca secara kondisional, sebagai berikut:
Jika kreditur memutuskan perjanjian kredit sebelum tanggal jatuh tempo fasilitas, sekaligus menyatakan besaran jumlah utang debitur, sedangkan debitur telah membayar kepada kreditur yang jumlahnya mencapai pokok dan bunga, maka pada tanggal surat pemutusan perjanjian kredit dari keditur tersebut, segala sesuatunya harus dalam keadaan status quo terhadap perhitungan jumlah kredit macet tersebut dan tidak dapat dibenarkan lagi adanya pertambahan atas bunga-bunganya.
Dari uraian di atas, jelas MA menginginkan ada pre kondisi yang harus terjadi agar bunga utang macet dapat dihentikan atau status quo. Jadi tidak serta merta stop bunga.
Demikian semoga bermanfaat.
Bahashukum.com by Armanda Pransiska S.H

Semua tulisan di bahashukum.com semata-mata ditujukan sebagai bahan edukasi, bukan pemberian konsultasi hukum.
Untuk berdiskusi lebih lanjut, silakan hubungi advokat kami melalui email armanda.pransiska@bahashukum.com.

© 2025 bahashukum.com
